Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dulu adalah kawah candradimuka para pemikir muda. Ia bukan sekadar organisasi, tetapi ruang dialektika, tempat gagasan diuji, dan idealisme ditempa. Namun hari ini, kita seperti sedang menyaksikan versi baru dari HMI, bukan sebagai gerakan intelektual, melainkan parade simbolik. Panggungnya tetap sama, tetapi lakonnya berganti.
Saya menyaksikan sendiri dalam berbagai acara resmi HMI MPO, di mana barisan kader muda berbondong-bondong ingin duduk di kursi paling depan. Tapi bukan karena ingin menyimak materi lebih dekat, atau menyerap pemikiran narasumber secara utuh. Bukan. Mereka ingin tampil. Mereka ingin terlihat. Mereka ingin bersanding dengan pejabat yang kadang diundang bukan untuk berdiskusi, tapi untuk berfoto.
Ada semacam nalar yang terbalik dalam tubuh organisasi ini. Dekat secara fisik dengan kekuasaan dianggap sebagai kedekatan substansial. Duduk di sebelah pejabat dianggap lebih bernilai daripada duduk di belakang sembari menyimak dan merenung. Ini bukan lagi sekadar gejala etika, ini adalah krisis epistemologi. Krisis cara berpikir.
Dan yang paling menyakitkan, di tengah perebutan kursi depan itu, para senior dan alumni yang telah melewati puluhan tahun mengabdi dan berjuang untuk HMI dibiarkan berdiri paling belakang. Tidak disapa, tidak dihormati. Bahkan sekadar menawarkan kursi pun tampak menjadi tindakan langka, seolah nilai-nilai adab sudah tak relevan dalam ruang yang kini dikuasai semangat tampil dan narsisme struktural.
Apakah kita sedang menyaksikan HMI berubah dari ruang perjuangan menjadi ruang pencitraan? Apakah idealisme kita benar-benar sudah tersubstitusi oleh kehendak eksis di media sosial?
Mari kita tarik garis. Dalam sejarahnya, HMI bukan didirikan untuk melahirkan pengikut, tetapi pembaharu. Ia dibentuk sebagai antitesis terhadap kekuasaan yang sewenang-wenang, bukan sebagai karpet merah menuju kekuasaan itu sendiri. Namun kini, kita saksikan kader-kader muda lebih sibuk mencari posisi di foto, bukan posisi dalam diskursus. Lebih berhasrat untuk dekat dengan kekuasaan, daripada mendekatkan diri pada gagasan kritis.
Dalam logika simbolik, kursi memang bisa bermakna. Tapi ketika kursi menjadi tujuan, bukan alat untuk mendengar dan memahami, maka kita sedang menuhankan simbol dan mengubur substansi. HMI kehilangan cara berpikir, tapi penuh gaya mengatur posisi duduk.
Sebagian dari kita mungkin membaca Syariati, Ali Shariati. Tapi jarang yang merenung. Padahal dalam satu tulisannya, ia mengingatkan: “Jika agama berubah menjadi alat kekuasaan, maka yang tersisa hanyalah ritual kosong.” Analogi ini sangat relevan. Jika organisasi seperti HMI hanya dijalani secara simbolik, maka yang tersisa hanyalah formalitas—tanpa substansi, tanpa perlawanan, tanpa nalar.
Nietzsche pernah bilang, “He who has a why to live can bear almost any how.” Pertanyaannya, apakah kader HMI hari ini masih punya ‘why’? Atau mereka hanya punya ‘how’ bagaimana caranya tampil, bagaimana caranya dikenal, bagaimana caranya duduk di sebelah pejabat?
Inilah ironi yang harus kita renungkan bersama, para pemikir HMI kini disingkirkan oleh para pencitra. Para pengabdi nilai digeser oleh para pengejar panggung. Para penjaga adab dikalahkan oleh para penjilat kekuasaan.
Maka, jika kursi depan adalah lambang kekuasaan, kosongkanlah ia. Biar yang duduk di sana hanya orang-orang yang benar-benar membawa gagasan, bukan ambisi. Sebab peradaban tidak dibangun dari panggung dan foto, tapi dari pikiran yang jernih dan hati yang jujur.
Jika HMI ingin kembali menjadi lokomotif perubahan, maka kita harus mengembalikan adab dalam berpikir, bukan sekadar dalam berpakaian. Kita harus menghidupkan kembali logika dialektika, bukan logika simbolik. Dan yang paling penting, kita harus belajar membedakan antara tampil dan berpikir, antara hadir dan berkontribusi, antara kursi dan nilai.
Sebab HMI bukan tempat untuk mengincar kursi kekuasaan. HMI adalah tempat untuk mengasah pikiran, agar suatu hari kelak, kita mampu mengguncang kekuasaan yang lupa pada nuraninya.
Opini Ditulis Oleh :
Hidayatullah
Alumni HMI

