MNCFest.com – Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) lahir pada 5 Februari 1947 di Yogyakarta, di tengah pergolakan revolusi Indonesia. Organisasi ini dibangun dengan semangat Islam, intelektualitas, dan kebangsaan. Namun, perjalanan HMI tak selalu mulus.
Tahun 1986 menjadi titik balik ketika HMI terpecah menjadi dua kubu HMI Dipo (yang beradaptasi dengan kebijakan Orde Baru) dan HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi) yang menolak tunduk pada rezim. HMI MPO memilih jalan yang lebih sulit melawan kooptasi kekuasaan dan menjaga independensi. Sejak saat itu, HMI MPO dikenal sebagai organisasi yang lebih kritis, lebih ideologis, dan lebih intelektual dibandingkan saudara kembarnya.
Di berbagai daerah, HMI MPO pernah menjadi pusat kajian strategis. Kader-kadernya tidak hanya berdiskusi tentang politik praktis, tetapi juga menggali pemikiran tokoh-tokoh besar seperti Ali Syariati, Ibnu Khaldun, hingga Noam Chomsky. Namun, idealisme itu kini makin pudar di tangan generasi baru.
Generasi Z yang kini mengisi HMI MPO tampaknya tidak lagi menjadikan buku sebagai senjata utama. Mereka lebih sibuk bermain media sosial, memburu eksistensi di ruang politik pragmatis, dan kehilangan tradisi intelektual yang menjadi ciri khas HMI MPO.
Dulu, diskusi di sekretariat penuh dengan kajian serius, memperdebatkan filsafat politik, ekonomi Islam, dan strategi perlawanan intelektual. Sekarang? Yang ramai justru strategi memenangkan pemilu, merancang proposal dana hibah, dan berebut proyek pemerintah.
Apa yang terjadi? Gairah berpikir telah digantikan oleh ambisi jabatan. Hasrat untuk membaca telah kalah oleh obsesi menjadi tim sukses. HMI MPO yang dulu berdiri melawan arus kini justru hanyut dalam gelombang politik transaksional.
Pragmatisme adalah kematian yang pelan tapi pasti. Ia tak datang dengan gemuruh, tapi merayap diam-diam, membius idealisme hingga mati tanpa terasa. HMI MPO, yang dulu tegak di atas prinsip independensi, kini justru tersungkur di altar kepentingan sesaat. Kader-kadernya lebih sibuk mencari peluang daripada membangun gagasan. Mereka berpikir praktis, tapi kehilangan makna.
Dulu, HMI MPO adalah rumah bagi perlawanan intelektual. Sekarang, ia lebih mirip halte bagi para pengendara politik yang menunggu tumpangan. Loyalitas bukan lagi pada nilai, tapi pada siapa yang memberi keuntungan lebih besar. Ini bukan evolusi, ini degradasi. Jika organisasi ini terus berjalan di jalur ini, maka sejarahnya tinggal soal siapa yang pernah menjualnya paling murah.
HMI MPO seharusnya menjadi penjaga independensi, bukan sekadar perpanjangan tangan kekuasaan. Jika kader-kadernya hanya berpikir tentang bagaimana mendapatkan jabatan, maka mereka bukan lagi kader pergerakan, melainkan hanya politisi prematur yang menjual idealisme untuk kepentingan pribadi. Inilah kuburan bagi perjuangan. Kuburan bagi gagasan. Kuburan bagi HMI MPO sendiri.
Fenomena kemunduran intelektual dan pragmatisme politik ini bukan hanya terjadi di HMI MPO. Banyak organisasi mahasiswa, bahkan yang memiliki sejarah panjang perjuangan, kini mengalami nasib serupa. Generasi Z hidup di era informasi yang melimpah, tetapi paradoksnya, mereka lebih banyak mengonsumsi konten dangkal daripada memperdalam pemikiran kritis. Mereka lebih akrab dengan tren TikTok ketimbang karya-karya besar pemikir dunia.
Di berbagai organisasi lain, pola yang sama terlihat jelas, semakin sedikit diskusi mendalam, semakin banyak kalkulasi politik. Organisasi mahasiswa yang dulu menjadi pusat perlawanan dan penggodokan pemikiran kini lebih sering menjadi batu loncatan untuk ambisi politik pribadi. Mahasiswa lebih tertarik pada gelar kepemimpinan ketimbang tanggung jawab intelektual. Hasilnya? Lahir generasi pemimpin yang tidak punya substansi, hanya mahir bermain narasi.
Jika ini terus terjadi, organisasi-organisasi mahasiswa hanya akan menjadi ornamen formal tanpa makna. Sebuah wadah kosong yang hanya diisi oleh ego dan kepentingan sesaat. Maka, pertanyaannya bukan lagi apakah semua organisasi mengalami kemunduran ini, tetapi apakah masih ada yang cukup sadar untuk menghentikannya?
Setelah membahas kemunduran organisasi di tangan Gen Z, pertanyaan mendesak yang harus dijawab adalah apakah masih ada harapan? Apakah HMI MPO bisa bangkit dari keterpurukan ini, atau justru semakin tenggelam dalam pragmatisme yang menggerogoti idealismenya?
Titik balik hanya akan terjadi jika ada kesadaran kolektif di dalam tubuh organisasi. Kesadaran bahwa yang hilang bukan sekadar tradisi membaca, tapi juga identitas intelektual yang selama ini menjadi nyawa HMI MPO. Kesadaran bahwa pragmatisme yang menjangkiti kader bukanlah strategi bertahan hidup, melainkan awal dari kematian organisasi itu sendiri.
Jika kader HMI MPO masih ingin melihat organisasinya tetap relevan, maka perlawanan harus dimulai dari dalam. Perlawanan terhadap kebiasaan instan, budaya pragmatisme, dan mentalitas mencari untung. Ini bukan tugas mudah, tapi satu-satunya jalan untuk menyelamatkan HMI MPO dari sekadar menjadi catatan sejarah.
HMI MPO masih bisa diselamatkan jika mau kembali ke akar intelektualnya. Kader-kadernya harus bangkit dari keterpurukan dan meninggalkan politik pragmatis.
Caranya sederhana: kembali membaca, kembali berpikir, dan kembali berjuang berdasarkan gagasan. Organisasi ini tidak boleh hanya menjadi tempat bagi mereka yang ingin mencari keuntungan pribadi atau sekadar ajang latihan politisi muda.
Namun, kembali ke akar bukan hanya soal membaca buku atau mendiskusikan gagasan besar. Ini tentang menghidupkan kembali semangat independensi dan keberanian untuk bersikap kritis, bahkan ketika itu berarti melawan arus mayoritas. Kader-kader HMI MPO harus berani mengoreksi kesalahan internal, menghadapi kepentingan pragmatis yang melemahkan organisasi, dan membangun budaya berpikir yang sehat. Tanpa itu, HMI MPO hanya akan menjadi nostalgia kosong tanpa substansi.
Lebih dari itu, kader HMI MPO harus kembali turun ke masyarakat, bukan sekadar sibuk di ruang-ruang seminar atau kantor-kantor pemerintahan. Mereka harus kembali memahami realitas sosial, merasakan denyut kehidupan rakyat, dan memperjuangkan kebijakan yang benar-benar berpihak pada keadilan. Hanya dengan cara itu, HMI MPO bisa kembali menjadi organisasi yang relevan dan bermakna.
Jika kader-kadernya tidak segera sadar, maka HMI MPO hanya akan menjadi nama kosong hidup dalam sejarah, tapi mati dalam gagasan.
Hidup-hidup, tapi tanpa pemikiran. Dan itu, sama saja dengan gelap.
Oleh: Hidayatullah

