MNCFest.com, Jakarta- Pemerintah Indonesia semakin serius dalam upaya mengurangi ketergantungan pada Liquefied Petroleum Gas (LPG) dengan mempercepat pembangunan proyek gasifikasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME). Proyek strategis ini menjadi bagian dari agenda hilirisasi yang dicanangkan pemerintah dan merupakan salah satu proyek dengan investasi terbesar, mencapai US$ 11 miliar atau sekitar Rp 180 triliun. Tidak seperti upaya sebelumnya yang bergantung pada investor asing, kali ini proyek DME akan dibiayai dengan sumber daya dalam negeri.
Proyek DME termasuk dalam 21 proyek hilirisasi yang ditargetkan untuk dikembangkan dalam tahap awal. Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Tri Winarno, mengungkapkan bahwa proyek ini merupakan bagian dari strategi besar pemerintah untuk meningkatkan ketahanan energi nasional. “Paling besar memang DME, ada empat proyek yang akan kita dorong secara paralel dengan total investasi mencapai US$ 11 miliar,” ujarnya di Gedung Kementerian ESDM.
Presiden Prabowo Subianto telah menggelar rapat terbatas bersama para menteri untuk membahas percepatan hilirisasi sektor energi dan sumber daya alam. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyatakan bahwa proyek ini akan dijalankan tanpa ketergantungan terhadap modal asing. “Sekarang kita tidak butuh investor luar. Negara melalui kebijakan Bapak Presiden akan memanfaatkan sumber daya dalam negeri. Yang kita butuhkan dari mereka hanya teknologinya,” kata Bahlil.
Sebelumnya, proyek DME sempat mengalami kendala akibat mundurnya beberapa investor asing. Rencana kerja sama dengan perusahaan Amerika Serikat, Air Products, serta investor dari China, tidak dapat terealisasi karena berbagai alasan. Kini, pemerintah telah memastikan bahwa proyek ini akan berjalan dengan dana yang bersumber dari Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara), serta melibatkan perusahaan nasional, termasuk kemungkinan partisipasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
DME merupakan bahan bakar alternatif yang dirancang sebagai substitusi LPG. Dengan memanfaatkan batu bara berkalori rendah, DME diharapkan dapat mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor LPG yang selama ini membebani neraca perdagangan energi. “Kita akan membangun DME berbahan baku batu bara low calorie sebagai substitusi LPG. Ini penting agar produk ini bisa dipasarkan di dalam negeri dan mengurangi ketergantungan impor,” tambah Bahlil.
Proyek DME direncanakan akan dibangun di beberapa lokasi strategis, seperti Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. Selain meningkatkan ketahanan energi, proyek ini juga diproyeksikan akan menciptakan ribuan lapangan pekerjaan baru serta meningkatkan nilai tambah bagi industri pertambangan dalam negeri.
Selain proyek DME, pemerintah juga tengah mempersiapkan berbagai proyek hilirisasi lainnya, termasuk di sektor nikel, tembaga, aluminium, dan bauksit. Total investasi yang dibutuhkan untuk 21 proyek tahap awal ini mencapai US$ 45 miliar, sebagai bagian dari target hilirisasi senilai US$ 618 miliar atau sekitar Rp 10 kuadriliun pada tahun 2025.
Bahlil menegaskan bahwa hilirisasi tidak hanya terbatas pada sektor pertambangan, tetapi juga mencakup industri minyak dan gas, kehutanan, serta perikanan. “Yang jelas, investasi ini bertujuan menciptakan lapangan kerja berkualitas, meningkatkan nilai tambah, serta mendorong pertumbuhan ekonomi nasional,” katanya.
Pemerintah berkomitmen untuk mempercepat implementasi proyek ini dengan mengoptimalkan sumber daya yang ada. Dengan adanya pembiayaan yang berasal dari dalam negeri, proyek DME dipastikan akan lebih berkelanjutan dan tidak bergantung pada kebijakan luar negeri. Proyek ini juga diharapkan dapat memberikan dampak positif yang signifikan bagi industri energi nasional serta mengurangi beban subsidi LPG yang selama ini menjadi tantangan bagi APBN.
Dengan langkah strategis ini, Indonesia semakin dekat untuk mewujudkan ketahanan energi nasional yang mandiri serta mengoptimalkan potensi sumber daya alam yang dimiliki. Proyek DME tidak hanya akan mengurangi ketergantungan terhadap impor LPG, tetapi juga membuka jalan bagi transformasi energi yang lebih berkelanjutan di masa depan.

