MNCFest.com, Jakarta- Pembangunan infrastruktur nasional harus memperhitungkan berbagai faktor yang memengaruhi ketahanannya terhadap perubahan iklim dan risiko bencana. Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), menegaskan bahwa proses pembangunan ke depan tidak boleh hanya mempertimbangkan aspek fisik dan ekonomi, tetapi juga berbasis pada pemahaman risiko yang mendalam. “Pembangunan infrastruktur nasional ke depan harus berbasis pada pemahaman risiko. Kita harus mulai dari data yang akurat dan penegakan yang ilmiah, termasuk data meteorologi, klimatologi, dan geofisika yang selama ini dikelola oleh BMKG,” ujar AHY dalam peringatan Hari Meteorologi Dunia 2025 yang digelar secara daring, Senin (24/3/2025).
Kondisi iklim yang terus berubah telah meningkatkan frekuensi bencana alam, seperti banjir, tanah longsor, serta gelombang panas yang berdampak luas terhadap masyarakat. Situasi ini semakin kompleks, mengingat masih tingginya kerentanan ruang hidup masyarakat terhadap perubahan iklim. Oleh karena itu, strategi pembangunan ke depan harus tangguh, inklusif, dan berkelanjutan agar dapat meminimalkan risiko yang ditimbulkan.
Dalam setiap proses pembangunan, mulai dari perencanaan, desain, hingga implementasi, ketahanan terhadap bencana harus menjadi prinsip utama. “Ketahanan iklim dan kebencanaan tidak boleh hanya menjadi wacana dalam dokumen perencanaan pembangunan infrastruktur tetapi harus menjadi praktik utama dalam setiap proses pembangunan,” jelas AHY. Pembangunan yang mengabaikan aspek lingkungan dan perubahan iklim dapat berujung pada kegagalan sistem infrastruktur, baik dalam jangka pendek maupun panjang.
Selain itu, AHY menyoroti pentingnya penyesuaian data ilmiah ke dalam sistem rencana pembangunan dan tata ruang nasional agar kebijakan yang diambil lebih tepat sasaran. “Mulai dari desain teknis infrastruktur, penentuan lokasi, hingga strategi operasionalnya, semua harus mempertimbangkan risiko bencana dan perubahan iklim,” lanjutnya. Penyesuaian ini penting untuk memastikan bahwa pembangunan yang dilakukan tidak hanya bersifat sementara, tetapi mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang terus berkembang.
Salah satu contoh nyata dari permasalahan infrastruktur yang belum mempertimbangkan faktor iklim secara maksimal adalah banjir yang terjadi di Bekasi, Jawa Barat, beberapa minggu lalu. Menurut AHY, permasalahan ini memerlukan solusi yang lebih permanen dan berbasis ilmiah. “Kita harus identifikasi permasalahan yang sebetulnya klasik, tapi permasalahan klasik ini tidak boleh dicarikan solusi yang klasik juga, harus ada terobosan-terobosan keberanian,” jelasnya.
Dalam upaya menciptakan sistem pembangunan yang lebih adaptif terhadap risiko, AHY mendorong kerja sama antara BMKG, Bappenas, Kementerian PUPR, Kementerian ATR/BPN, pemerintah daerah, hingga komunitas lokal. “Dengan sinergi, kita bisa memastikan bahwa pembangunan infrastruktur bukan menjadi sumber kerentanan, tetapi justru menjadi benteng pertahanan kita ke depan,” ucap dia. Kolaborasi ini menjadi kunci dalam menghadirkan infrastruktur yang mampu menghadapi tantangan perubahan iklim dan menjamin kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan.
Dengan pendekatan berbasis data ilmiah dan mitigasi risiko yang matang, pembangunan infrastruktur di Indonesia dapat menjadi lebih kokoh dan berdaya tahan. Hal ini tidak hanya akan mengurangi potensi kerugian akibat bencana, tetapi juga meningkatkan efisiensi dalam jangka panjang. Ke depan, diharapkan semua pihak dapat berkomitmen untuk mengedepankan prinsip ketahanan iklim dalam setiap proyek pembangunan, sehingga tercipta lingkungan yang lebih aman dan nyaman bagi generasi mendatang.

