Sebuah proyek irigasi yang menelan anggaran hingga Rp226,9 miliar di Bubi, Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT), Maluku, hingga kini terbengkalai. Proyek yang seharusnya menjadi solusi bagi peningkatan produksi pertanian di daerah tersebut justru tidak memberikan manfaat bagi petani, sehingga menimbulkan pertanyaan besar di tengah masyarakat.
Proyek ini merupakan inisiatif dari Balai Wilayah Sungai (BWS) Maluku dan telah dikerjakan sejak 2017 hingga 2020. Namun, hingga kini sistem irigasi yang dibangun tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Padahal, tujuan utama proyek ini adalah mendukung produktivitas pertanian di wilayah SBT, terutama dalam sektor tanaman padi. Sayangnya, harapan tersebut justru berujung pada kekecewaan akibat proyek yang tak kunjung memberi hasil nyata bagi para petani.
Direktur Rumah Muda Anti Korupsi (RUMMI), Fadel Rumakat, dalam pernyataannya mengungkapkan bahwa proyek ini tidak hanya merugikan petani tetapi juga negara dan masyarakat secara umum. Ia menegaskan bahwa aparat penegak hukum (APH) harus segera turun tangan guna mengusut tuntas penyebab mangkraknya proyek tersebut.
“Seharusnya proyek ini meningkatkan produksi pertanian dan kesejahteraan petani, tetapi faktanya hingga kini irigasi ini tidak berfungsi sama sekali. Aparat penegak hukum harus segera menyelidiki penyebab mangkraknya proyek ini,” ujar Fadel dalam rilis pada Selasa (11/3/2025).
Fadel menegaskan bahwa jika aparat penegak hukum tidak segera bertindak, hal ini dapat dianggap sebagai bentuk pembiaran terhadap dugaan tindak pidana korupsi di lingkup Balai Wilayah Sungai (BWS) Maluku. Menurutnya, kegagalan proyek ini disebabkan oleh tiga faktor utama dalam perencanaan yang tidak terpenuhi, sehingga patut dipertanyakan kredibilitas pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaannya.
“Pihak Kepolisian dan Kejaksaan Tinggi Maluku harus mengungkap persoalan ini. Kegagalan proyek irigasi ini disebabkan oleh tiga faktor utama dalam perencanaan yang tidak dipenuhi. BWS dan Kontraktor harus diperiksa,” tegasnya.
Salah satu masalah utama dalam proyek ini adalah lokasi pembangunan irigasi yang berada di atas lahan sagu. Sesuai dengan peraturan gubernur (Pergub) yang berlaku, perubahan fungsi lahan dari sagu menjadi lahan pertanian membutuhkan regulasi khusus yang tidak bisa dilakukan sembarangan. Hal ini menjadi kendala teknis yang seharusnya telah dipertimbangkan sejak tahap perencanaan proyek.
“Petani penggarap yang berorientasi pada tanaman padi. Jika tidak ada petani yang menanam padi, maka sistem irigasi menjadi sia-sia,” tambahnya.
Selain itu, Fadel juga mengkritisi transparansi proyek ini. Ia menilai bahwa proyek tersebut tidak dikaji secara mendalam bersama DPRD baik di tingkat provinsi maupun kabupaten sebelum direalisasikan. Akibatnya, proyek ini justru terkesan dipaksakan dan tidak melalui perencanaan yang matang. Ia bahkan mencurigai adanya dugaan permainan dalam proses tender proyek ini.
“BWS Maluku harus mengkaji ulang proyek-proyek yang telah menggunakan anggaran besar tetapi tidak berdampak bagi masyarakat. Aparat penegak hukum harus segera memanggil kontraktor dan Kepala BWS untuk dimintai pertanggungjawaban atas mangkraknya proyek tersebut,” pintanya.
Kondisi ini semakin mempertegas adanya potensi penyalahgunaan anggaran dalam proyek-proyek pembangunan infrastruktur di daerah. Jika proyek irigasi sebesar ini saja bisa mangkrak tanpa kejelasan, maka hal ini menjadi preseden buruk bagi pembangunan sektor pertanian di Maluku ke depan.
Masyarakat berharap agar pihak berwenang segera melakukan investigasi menyeluruh dan memberikan sanksi kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab atas kegagalan proyek ini. Jika tidak, dikhawatirkan kasus serupa akan terus terulang, merugikan masyarakat dan menghambat pertumbuhan sektor pertanian di SBT dan sekitarnya.

